Masa orde baru merupakan masa dimana saat itu Indonesia dibawah pimpinan Presiden Soeharto. Masa orde baru ini dimulai pada tahun 1966 sampai tahun 1998 rakyat Indonesia sendiri yang menggulingkan kehidupan presiden Soeharto. Hal ini dikarenakan masa jabatan Presiden Soeharto yang terlalu lama dan merajalelanya KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme). Selain itu, alasan yang membuat rakyat kesal dengan kehidupan pemerintahan presiden Soeharto yaitu dengan diberlakukannya aturan-aturan yang begitu ketat dan sangat mengekang kebebasan rakyat dalam berpendapat. Dimana segala sesuatu kehidupan yang menyangkut kehidupan bernegara harus sesuai dengan kehendak pemerintah, rakyat tidak diperkenankan untuk berpendapat dengan bebas. Bagi siapa saja yang melanggar aturan pemerintah tersebut akan di sidang di Mahkamah Militer Luar Biasa, bahkan sebagian dari mereka yang melanggar akan dibuang ke Pulau Buru.
Peraturan pemerintah tersebut juga berlaku bagi kehidupan pers. Dimana pers yang semestinya menjadi penghubung antara rakyat untuk pemerintah dan antara pemerintah untuk rakyat tidak bisa melaksanakan tugasnya dengan baik. Pers hanya dijadikan sebagai boneka pemerintahan. Pers dijadikan sebagai penyebar informasi yang hanya bersifat positif tentang pemerintahan, sedangkan segala hal yang bersifat penyelewengan tentang pemerintah dilarang untuk disebar luaskan.
Pada awal kepemimpinan orde baru menyatakan bahwa membuang jauh praktik demokrasi terpimpin diganti dengan demokrasi Pansasila, hal ini mendapat sambutan positif dari semua tokoh dan kalangan, sehingga lahirlah istilah pers Pancasila. Menurut sidang pleno ke 25 Dewan Pers bahwa Pers Pancasila adalah pers Indonesia dalam arti pers yang orientasi, sikap, dan tingkah lakunya didasarkan pada nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945. Hakekat pers Pancasila adalah pers yang sehat, pers yang bebas dan bertanggung jawab dalam menjalankan fungsinya sebagai penyebar informasi yang benar dan objektif, penyalur aspirasi rakyat, dan kontrol sosial yang konstruktif.
Masa kebebasan ini berlangsung selama delapan tahun disebabkan terjadinya pristiwa malari (Lima Belas Januari 1974) sehingga pers kembali seperti zaman orde lama. Dengan peristiwa malari beberapa surat kabar dilarang terbit termasuk Kompas. Pers pasca peristiwa malari cenderung pers yang mewakili kepentingan penguasa, pemerintah atau negara. Pers tidak pernah melakukan kontrol sosial disaat itu. Pemerintah orde baru menganggap bahwa pers adalah institusi politik yang harus diatur dan dikontrol sebagaimana organisasi masa dan partai politik.
Kebijakan – kebijakan yang dikeluarkan pemerintah orde baru sangat tidak mendukung keberadaan pers. Salah satu contohnya adalah kebijakan SIUPP, yakni Surat Izin untuk Penerbitan Pers, yang mana sangat tidak pro-pers. Pers mengalami kesulitan saat dituntut untuk melasanakan fungsi – fungsi yang secara alamiah melekat padanya, khususnya fungsi mereka bagi masyarakat.
Contoh kediktatoran pemerintah terhadap pers adalah peristiwa 21 Juni 1994. Saat itu beberapa media massa seperti Tempo, deTIK, dan editor dicabut surat izin penerbitannya atau dengan kata lain dibredel setelah mereka mengeluarkan laporan investigasi tentang berbagai penyelewengan yang dilakukan oleh pejabat-pejabat Negara. Sebenarnya, di Indonesia telah dibentuk suatu lembaga independen yang dibentuk sebagai bagiam dari upaya mewujudkan kemerdekaan pers dan meningkatkan kehidupan pers nasional.
Dewan pers tak dapat melindungi para awak media yang mengalami kesusahan akibat aturan pemerintah yang begitu ketat. Bahkan pada saat terjadi pemberedelan media massa tahun 1994, dewan pers tidak dapat melakukan pemberontakan apapun. Dewan pers dipaksa menyetujui langkah pemerintah tersebut. Tidak ada pihak manapun yang mampu melwan intruksi pemerintah. pada kesimpulannya keberadaan pers pada masa orde baru hanya sebatas FORMALITAS.
Annisa Nur Maulidya (12 A 5)
Peraturan pemerintah tersebut juga berlaku bagi kehidupan pers. Dimana pers yang semestinya menjadi penghubung antara rakyat untuk pemerintah dan antara pemerintah untuk rakyat tidak bisa melaksanakan tugasnya dengan baik. Pers hanya dijadikan sebagai boneka pemerintahan. Pers dijadikan sebagai penyebar informasi yang hanya bersifat positif tentang pemerintahan, sedangkan segala hal yang bersifat penyelewengan tentang pemerintah dilarang untuk disebar luaskan.
Pada awal kepemimpinan orde baru menyatakan bahwa membuang jauh praktik demokrasi terpimpin diganti dengan demokrasi Pansasila, hal ini mendapat sambutan positif dari semua tokoh dan kalangan, sehingga lahirlah istilah pers Pancasila. Menurut sidang pleno ke 25 Dewan Pers bahwa Pers Pancasila adalah pers Indonesia dalam arti pers yang orientasi, sikap, dan tingkah lakunya didasarkan pada nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945. Hakekat pers Pancasila adalah pers yang sehat, pers yang bebas dan bertanggung jawab dalam menjalankan fungsinya sebagai penyebar informasi yang benar dan objektif, penyalur aspirasi rakyat, dan kontrol sosial yang konstruktif.
Masa kebebasan ini berlangsung selama delapan tahun disebabkan terjadinya pristiwa malari (Lima Belas Januari 1974) sehingga pers kembali seperti zaman orde lama. Dengan peristiwa malari beberapa surat kabar dilarang terbit termasuk Kompas. Pers pasca peristiwa malari cenderung pers yang mewakili kepentingan penguasa, pemerintah atau negara. Pers tidak pernah melakukan kontrol sosial disaat itu. Pemerintah orde baru menganggap bahwa pers adalah institusi politik yang harus diatur dan dikontrol sebagaimana organisasi masa dan partai politik.
Kebijakan – kebijakan yang dikeluarkan pemerintah orde baru sangat tidak mendukung keberadaan pers. Salah satu contohnya adalah kebijakan SIUPP, yakni Surat Izin untuk Penerbitan Pers, yang mana sangat tidak pro-pers. Pers mengalami kesulitan saat dituntut untuk melasanakan fungsi – fungsi yang secara alamiah melekat padanya, khususnya fungsi mereka bagi masyarakat.
Contoh kediktatoran pemerintah terhadap pers adalah peristiwa 21 Juni 1994. Saat itu beberapa media massa seperti Tempo, deTIK, dan editor dicabut surat izin penerbitannya atau dengan kata lain dibredel setelah mereka mengeluarkan laporan investigasi tentang berbagai penyelewengan yang dilakukan oleh pejabat-pejabat Negara. Sebenarnya, di Indonesia telah dibentuk suatu lembaga independen yang dibentuk sebagai bagiam dari upaya mewujudkan kemerdekaan pers dan meningkatkan kehidupan pers nasional.
Dewan pers tak dapat melindungi para awak media yang mengalami kesusahan akibat aturan pemerintah yang begitu ketat. Bahkan pada saat terjadi pemberedelan media massa tahun 1994, dewan pers tidak dapat melakukan pemberontakan apapun. Dewan pers dipaksa menyetujui langkah pemerintah tersebut. Tidak ada pihak manapun yang mampu melwan intruksi pemerintah. pada kesimpulannya keberadaan pers pada masa orde baru hanya sebatas FORMALITAS.
Annisa Nur Maulidya (12 A 5)
0 komentar:
Posting Komentar