a. Behaviorisme.
Teori ini di dalam linguistik diikuti
antara lain oleh L.Bloomfield dan B.F.Skinner. Dalam hal belajar, termasuk
belajar bahasa, teori ini lebih mementingkan faktor eksternal ketimbang faktor
internal dari individu, sehingga terkesan siswa hanya pasif saja menunggu
stimulus dari luar (guru). Belajar apa saja dan oleh siapa saja (manusia
atau binatang) sama saja, yakni melalui mekanisme stimulus – respons.
Guru memberikan stimulus, siswa merespons, seperti tampak pada latihan tubian (drill)
dalam pelajaran bahasa Inggris. Pelajaran yang mementingkan kaidah tatabahasa,
struktur bahasa (fonem, morfem, kata, frasa, kalimat) dan bentuk-bentuk
kebahasaan merupakan penerapan behaviorisme, karena behaviorisme lebih
mementingkan bentuk dan struktur bahasa ketimbang makna dan maksud.
b. Gestalt.
Berbeda dengan behaviorisme yang bersifat
fragmentaris (mementingkan bagian demi bagian, sedikit demi sedikit), teori
belajar ini melihat pentingnya belajar secara keseluruhan. Jika Anda mempelajari
sebuah buku, bacalah dari awal sampai akhir dulu, baru kemudian bab demi bab.
Dalam linguistik dan pengajaran bahasa, aliran ini melihat bahasa sebagai
keseluruhan utuh, melihat bahasa secara holistik, bukan bagian demi
bagian. Belajar bahasa tidak dilakukan setapak demi setapak,dari fonem, lalu
morfem dan kata, frasa, klausa sampai dengan kalimat dan wacana. Bahasa adalah
sesuatu yang mempunyai staruktur dan sistem, dalam arti bahasa terdiri atas
bagian-bagian yang saling berpengaruhdan saling bergantung.
c. Kognitivisme.
Dalam belajar, kognitivisme mengakui pentingnya
faktor individu dalam belajar tanpa meremehkan faktor eksternal atau
lingkungan. Bagi kognitivisme, belajar merupakan interaksi antara individu dan
lingkungan, dan hal itu terjadi terus-menerus sepanjang hayatnya. Kognisi
adalah suatu perabot dalam benak kita yang merupakan “pusat” penggerak berbagai
kegiatan kita: mengenali lingkungan, melihat berbagai masalah, menganalisis
berbagai masalah, mencari informasi baru, menarik simpulan dan sebagainya.
Pakar kognitivisme yang besar pengaruhnya ialah Jean Piaget, yang pernah
mengemukakan pendapatnya tentang perkembangan kognitif anak yang
terdiri atas beberapa tahap. Dalam hal pemerolehan bahasa ibu (B1)
Piaget mengatakan bahwa (i) anak itu di samping meniru-niru juga aktif dan
kreatif dalam menguasai bahasa ibunya; (ii) kemampuan untuk menguasai bahasa
itu didasari oleh adanya kognisi; (iii) kognisi itu memiliki struktur
dan fungsi. Fungsi itu bersifat genetif, dibawa sejak lahir, sedangkan
struktur kognisi bisa berubah sesuai dengan kemampuan dan upaya individu.
Di samping itu, teori ini pun mengenal konsep
bahwa belajar ialah hasil interaksi yang terus-menerus antara individu dan
lingkungan melalui proses asimilasi dan akomodasi. (Lihat
strategi pembelajaran!).
d. Konstruktivisme.
Teori Piaget di atas melahirkan teori
konstruktivisme dalam belajar. Piaget mengatakan bahwa struktur kognisi itu
dapat berubah sesuai dengan kemampuan dan upaya individu sendiri. Menurut
konstruktivisme, pebelajar (learner, orang yang sedang
belajar) akan membangun pengetahuannya sendiri berdasarkan apa yang sudah
diketahuinya. Karena itu belajar tentang dan mempelajari sesuatu itu tidak
dapat diwakilkan dan tidak dapat “diborongkan” kepada orang lain. Siswa sendiri
harus proaktif mencari dan menemukan pengetahuan itu, dan mengalami sendiri
proses belajar dengan mencari dan menemukan itu. Di sini diperlukan pemahaman
guru tentang “apa yang sudah diketahui pebelajar”, atau apa yang disebut pengetahuan
awal (prior knowledge), sehingga guru bisa tepat menyajikan
bahan pengajaran yang pas: Jangan memberikan bahan yang sudah diketahui siswa,
jangan memberikan bahan yang terlalu jauh bisa dijangkau oleh siswa. Patut
diingat bahwa sebelum belajar bahasa Indonesia siswa sudah mempunyai bahasa ibu
(bahasa daerah) sebagai “pengetahuan awal” mereka. Pengetahuan, pengalaman, dan
keterampilannya dalam bahasa daerahnya itu harus dimanfaatkan oleh guru untuk
belajar berbahasa Indonesia dengan lebih baik.
e. CBSA.
Sebenarnya CBSA sudah kita kenal sejak 1981 yang
menyertai Kurikulum 1984 juga. CBSA itu suatu pendekatan yang lahir untuk
mengatasi keadaan kelas yang siswanya serba pasif. Adalah pandangan yang salah
jika dikatakan CBSA itu mengaktifkan siswa dan “membuat guru diam” (tidak aktif).
Juga salah jika CBSA itu mesti berdiskusi secara kelompok, mesti memindahkan
bangku dan kursi. Yang penting sebenarnya ialah CBSA itu menuntut agar ada keterlibatan
mental-psikologis pada siswa sepanjang proses belajar-mengajar. Hanya saja
keterlibatan mental-psikologis itu kadang-kadang harus diwujudkan dalam
perilaku fisik, misalnya bertanya, memberikan jawaban dan tanggapan, memberikan
pendapat, dsb. Dalam hal pelajaran bahasa Indonesia, CBSA itu harus mewujud
dalam kegiatan siswa untuk banyak berbicara dan menulis, pokoknya harus
aktif-produktif ketimbang pasif-reseptif. Dalam hal-hal tertentu CBSA itu
mengharuskan siswa banyak terlibat dalam proses belajar-mengajar, siswa
mengalami belajarnya sendiri, mendalami materi, dsb. Dalam pembelajaran bahasa
Indonesia CBSA amat bisa sejalan dengan pendekatan komunikatif.
f. Keterampilan Proses.
Sebenarnya keterampila proses itu serupa dan
senafas dengan CBSA karena roh dari kedua pendekatan itu sama yaitu bagaimana
agar siswa itu terlibat aktif dalam proses belajar-mengajar di dalam kelas.
Keterampilan proses ini lahir antara lain karena guru sering hanya
memperhatikan hasil belajar dan kurang memperhatikan proses untuk mencapai
hasil itu. Dengan kata lain, guru (dan murid) menghalalkan segala cara agar memperoleh
hasil yang “baik” tanpa melihat cara (teknik, metode, pendekatan, teori)
memperoleh hasil itu. Akibatnya, guru berlaku kurang jujur, misalnya dengan
membuat soal-soal yang sangat-saangat mudah, membiarkan murid menyontek, dan
sebagainya; murid pun berlaku tidak jujur, yakni sengaja menyiapkan sontekan,
turunan, dan sebagainya. Sebenarnya, sejak kurikulum 1975 kita sudah mengenal
TIK (Tujuan Instruksional Khusus) yang rumusannya mencantumkan cara-cara untuk
mencapai hasil belajar yang bisa diamati dan diukur. Dalam rumusan yang
kira-kira sama, KBK pun merumuskan “kompetensi” dengan deskriptor-deskriptor
tertentu. Dalam bahasa Indonesia pendekatan ini dapat secara langsung digunakan
untuk menilai perilaku berbhasa sehari-hari di dalam kelas secara
terus-menerus.
g. Belajar secara Sosial.
Istilah Inggrisnya ialah social learning,
dan sekarang dikenal dengan istilah belajar secara gotong royong.
Pendekatan ini menekankan pentingnya belajar bersama, secara berkelompok atau
berpasangan, mengingat di dalam kehidupan bermasyarakat pun orang
selalu bekerja sama untuk melakukan sesuatu.
Dalam pelajaran bahasa Indonesia pendekatan ini bisa diterapkan misalnya dalam
menyusun karya tulis (membuat laporan, membuat sinopsis, meringkas bacaan, dan
sebagainya), berdiskusi, berdialog, mendengarkan, dan sebagainya.
h. CTL.
Seiring dengan diperkenalkannya KBK, muncul
gagasan tentang CTL, singkatan dari Contextual Teaching and Learning,
atau mengajar dan belajar secara kontekstual. Pendekatan ini sebenarnya
diilhami oleh filsafat konstruktivisme. Sebenarnya siswa itu bisa didorong
untuk aktif melakukan tindak belajar jika apa yang dipelajari itu sesuai dengan
konteks. Konteks ini tidak sekadar diartikan lingkungan belajar.
Konteks itu bisa berupa konteks siswa (usia, kondisi sosial-ekonomi,
potensi intelektual, keadaan emosi, dsb), konteks isi (materi
pelajaran), konteks tujuan (tujuan belajarnya, kompetensi yang hendak
dicapai), konteks sosial-budaya, konteks lingkungan, dsb. Ada
beberapa unsur dalam CTL yang harus diterapkan di dalam proses
belajar-mengajar, antara lain, pertanyaan, inkuiri, penemuan, pengalaman.
Dalam pelajaran bahasa dan sastera Indonesia guru hendaknya memperhatikan
kondisi kebahasaan siswa: apakah siswa Anda berasal dari pedesaan atau
perkotaan, dari keluarga ekonomi lemah atau keluarga mampu, ada di SMP atau
SMA. Guru hendaknya juga memperhatikan besar-kecilnya pengaruh bahasa daerah
terhadap bahasa Indonesia dalam pemakaian bahasa Indonesia
sehari-hari. Hal ini sering menyulitkan guru karena guru dan murid mempunyai
latar belakang kebahsaan yang sama sehingga kedua pihak bisa melakukan
“kesalahan” yang sama dalam berbahasa Indonesia. Guru yang berlatar belakang
bahasa Bali tentu sulit mengidentifikasi kesalahan dalam berbahasa Indonesia
yang dilakukan murid-muridnya yang juga berkatar belakang bahasa Bali, karena
guru tidak menyadari kesalahannya sendiri. Minat siswa dalam sastra dan
kesastraan juga bisa bergantung kepada latar belakang di atas.
i. Pendekatan Komunikatif.
Ini adalah pendekatan khas dalam belajar
berbahasa. Intinya pendekatan ini menuntut agar (i) siswa diberi kebebasan
berbicara tanpa beban (wajib berbahasa Indonesia yang baik dan benar); (ii)
siswa mampu mengomunikasikan gagasannya kepada orang lain dan mampu menangkap
dana memahami gagasan orang lain; (iii) siswa lebih banyak belajar berbahasa
(empat keterampilan berbahasa) ketimbang belajar bahasa
(teori, kaidah tatabahasa, struktur bahasa,dsb); (iv) guru tidak perlu banyak
menyalahkan ujaran siswa, apalagi menginterupsi ketika siswa sedang berbicara,
karena hal itu dapat mematikan motivasi siswa untuk berbicara. Bahasa harus
kita pandang secara holistik (menyeluruh), bukan serpih-serpih (bagian
demi bagian). Pendekatan komunikatif hakikatnya juga sejalan dengan
prinsip-prinsip dalam pragmatik.
j. Pendekatan Tematik-Integratif.
Sebenarnya pendekatan ini sudah kita kenal pada
kurikulum 1984. Intinya, tiap pelajaran harus berpijak pada tema atau subtema
tertentu. Dan tiap bahan pelajaran tidaklah berdiri sendiri melainkan dipadukan
(diintegrasikan) dengan bahan pelajaran yang lain. Dalam belajar berbahasa
Indonesia, bahan pelajaran dapat dipadukan secara internal, misalnya
keterampilan berbicara dengan tema pariwisata dengan keterampilan menulis,
dengan aspek kebahasaan seperti kalimat dan frasa. Dapat pula secara eksternal
dipadukan dengan sastra. Bahkan bahasa Indonesia dapat dipadukan dengan
mata pelajaran yang lain. Misalnya, untuk pelajaran kalimat majemuk, guru dapat
memadukan kalimat majemuk dengan keterampilan membaca, dan bacaan itu diambil
dari buku teks Sejarah, Ekonomi, Biologi, IPA, IPS, dsb. Artinya, siswa dapat
ditugasi untuk mencari dan menemukan contoh-contoh kalimat majemuk di dalam
buku-buku teks itu.