Sebagai tanaman yang mengiurkan bagaikan emas pertanian, cengkeh tiada henti menjadi incaran monopoli pembelian. Era Orde Baru dengan sistem tata niaga cengkeh-mulai dari versi Keppres Nomor 50 Tahun 1979 kemudian Keppres Nomor 8 Tahun 1980. Setelah dua Kepres tersebut, belum hilang dari ingatan kita, ketika Hutomo Mandala Putra (Tommy Soeharto) mendirikan badan kontrovesi tata niaga – penyangga cengkeh nasional atau yang dikenal dengan Badan Penyangga Perdagangan Cengkeh (BPPC) 28 Desember 1990 (beroperasi 1990 sampai dengan 1998).
Keputusan pendirian BPPC oleh sebagian kalangan dinilai ”wajar” karena bisnis cengkeh memang menggiurkan. Tidak kurang dari 80.000 ton cengkeh dibutuhkan oleh pabrik rokok, perusahaan kimia dan obat-obatan. Walau akhirnya harga cengkeh di tingkat petani anjlok
Pendirian BBPC juga disebabkan adanya monopoli pembelian oleh para tengkulak-tengkulak Cina yang dipimpin oleh Tjia Eng Tek sejak era 80-an. Tengkulak-tengkulak Cina bersama dengan Gabungan Perusahaan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI) terdiri dari 4 pemilik pabrik rokok terbesar (Gudang Garam, Djarum, Sampoerna dan Bentoel) menguasai 80-90 persen perdagangan rokok di Indonesia. Alhasil Para pedagang hasil bumi yang umumnya berasal dari kepulauan Sulawesi dan Maluku yang sudah menjadi rival dengan GAPPRI sulit menjual cengkeh dan tidak mampu berbuat apa-apa, oleh karena pabrik-pabrik rokok besar tersebut langsung membeli cengkeh dari petani dan koperasi.
Para pedagang pribumi akhirnya merangkul Tommy Soeharto untuk membentuk sebuah konsorsium, dengan imbalan PT Bina Reksa Dana (milik Tommy) sebagai pimpinan korsorsiumnya. Namun kenyataannya kongsi itu tidak mampu melawan hegemoni raksasa pabrik pembelian rokok, bahkan kiprahnya membuat harga cengkeh justru anjlok menjadi hanya 2-3 dolar AS (saat itu kurs dolar AS masih di bawah Rp 2.000). Padahal sebuah BUMN PT Kerta Niaga mematok harga dasar pembelian cengkeh ke petani sebesar 3,5 dolar AS.
Januari 1990, Tommy meminta kepada Menperindag (kala itu dijabat Hartarto) untuk menggantikan peran PT Kerta Niaga, yang menurutnya inefisien, dengan suatu sistem tata niaga. Tata niaga cengkeh dalam kerangka pemikiran Tommy akan menjadi pembeli tunggal hasil panen cengkeh dari petani dan koperasi. Tommy berjanji akan membeli cengkeh dari petani sebesar 3,5-4 dolar AS per kilogram dan menjual kepada pabrik rokok 6-7 dolar AS per kilo. Diharapkan tata niaga akan mengantongi selisih laba 100 juta dolar AS per tahun.
Langkah Tommy kemudian dibalas oleh GAPPRI dengan meyakinkan pemerintah bahwa dengan naiknya harga cengkeh, akan memangkas angka penjualan rokok yang sama artinya dengan menambah biaya produksi dan mengurangi pendapatan pajak cukai kepada pemerintah.Ternyata pemerintah ”memihak” kepada Tommy. Melalui Menteri Perdagangan saat itu, pemerintah memberi lampu hijau kepada Tommy untuk membentuk tata niaga cengkeh.
Saat itu, BPPC yang didukung oleh para tengkulak cengkeh, PT Kerta Niaga dan beberapa koperasi, memiliki cadangan cengkeh sebanyak 90.000 ton. Langkah ini kontan ditolak GAPPRI yang menganggap monopoli cengkeh bertentangan dengan deregulasi yang sedang digalakkan. Pernyataan GAPPRI mendapat dukungan Bank Dunia dan ekonom Indonesia sendiri. Sementara pembelian cengkeh terus dilakukan BPPC, harga cengkeh tidak beranjak dari 3 dolar AS per kilo, bahkan di beberapa tempat kurang dari itu. Stok cengkeh di gudang BPPC terakumulasi 207.000 ton hingga 1991, padahal yang terjual hanya 37.000 ton saja. Untuk mendongkrak harga, BPPC mengeluarkan usulan kontroversial yaitu menyarankan kepada petani untuk membakar separo dari stok yang dimiliki.
Pertikaian komoditas cengkeh antara Tommy dengan GAPPRI yang didukung tengkulak-tengkulak Cina, tidak lain karena keuntungan yang mengiurkan. Cengkeh menjadi komoditas yang sangat penting, karena merupakan salah satu bahan rokok kretek. Total penjualan rokok di Indonesia mencapai 3 milyar dolar AS per tahun. Pada akhirnya BPPC runtuh bersama runtuhnya rezim orde baru oleh revolusi.
created : Tati Rismayanti Noor Lubis XII IPA 2
0 komentar:
Posting Komentar