Senin, 08 Oktober 2012

“TALANGSARI BERDARAH, PEMERINTAH DIAM TANPA KATA”

(versi kelas XIIA-6 by Faesal Fajar
Latar belakang peristiwa:
Dari sekian banyaknya peristiwa berdarah di masa kepemimpinan Soeharto adalah peristiwa Talangsari 1989 yang terjadi di Dusun Talangsari III, Desa Rajabasa Lama, Lampung Timur. Kisah berawal dari seorang tokoh bernama Warsidi yang dicurigai aparat karena ingin membuat gerakan untuk menjadikan Negara Islam di Indonesia.
Aparat mencium aktivitas Warsidi dan pada hari Senin tanggal 6 Februari 1989 pemerintah setempat melalui Musyawarah Pimpinan Kecamatan (MUSPIKA) dipimpin oleh Danramil Way Jepara Kapten Soetiman mendatangi kediamannya untuk meminta keterangan kepada Warsidi beserta pengikutnya. Namun, kedatangan Kapten Soetiman disambut dengan perlawanan oleh pengikut Warsidi. Akibatnya, Kapten Soetiman tewas dan dikuburkan di Talangsari. Pemerintah langsung mengambil tindakan tegas dan mengirim tentara dari Korem Garuda Hitam tanggal 7 Februari 1989 yang saat itu dipimpin oleh Kol Hendropriyono
Kronologi peristiwa:
Hari Selasa, 7 Februari 1989. Peristiwa Talangsari 1989 di mulai, ketika itu umat Islam baru saja akan melaksanakan salat subuh. Tiba-tiba terdengar suara tembakan, suasana menjadi tegang, ketakutan dan kekhawatiran dirasakan oleh pengikut Warsidi. Danrem 043 Garuda Hitam Kol. Hendropriyono bersama lebih dari satu batalion pasukan infantri mengepung dan menyerbu perkampungan Cihideung dengan posisi tapal kuda, marah bagai dirasuk dendam.
Pukul 07.00. Karena kekuatan yang tidak seimbang, akhirnya pasukan yang dipimpin oleh Kol. Hendropritono berhasil menguasai perkampungan jama’ah dan memburu jama’ah. Dalam perburuan itu, aparat memaksa Ahmad (10 th) sebagai penunjuk tempat-tempat persembunyian jema’ah. Setelah menggunakan jasa Ahmad, aparat berhasil mengeluarkan paksa sekitar 20 orang ibu-ibu dan anak-anak dari pondok Jayus. Ibu Saudah, salah satu korban yang dikeluarkan paksa sudah melihat sekitar 80-an mayat yang bergelimpangan disana – sini, hasil serangan aparat sejak pukul 05.30 tadi pagi.
Pukul 07.30. Tentara mulai membakar pondok-pondok yang berisi ratusan jama’ah dan anak-anak rumah panggung. Dengan memaksa Ahmad menyiramkan bensin dan membakarnya. Sambil membakar rumah-rumah tersebut, Purwoko (10 th) dipaksa aparat untuk mengenali wajah Warsidi diantara mayat-mayat jama’ah yang bergelimpangan. Akhirnya, mayat Pak Warsidi ditemukan setelah Purwoko hampir membolak-balik 80-an mayat .
Pukul 09.30. Setelah ditemukan, kedua mayat tersebut kemudian diterlentangkan di pos jaga jama’ah. Tak lama kemudian, seorang tentara menggorok leher kedua mayat tersebut.
Pukul 13.00. Kedua puluhan ibu-ibu dan anak-anak tadi yang masih selamat dipaksa berjalan kaki sekitar 2 Km untuk dibawa ke Kodim 0411 Metro .
Kamis, 9 Februari 1989 Pukul 08.40. Jama’ah yang marah mendengar kebiadaban dan penahanan jama’ah di Kodim 0411 Metro tersebut, akhirnya menyerbu Kodim dan Yonif 143. Dalam penyerbuan itu, 6 orang jama’ah tewas. Sedangkan dipihak aparat 3 orang luka-luka terkena sabetan golok.
Pukul 21.00. Dalam sebuah acara televisi yakni Dunia Dalam Berita TVRI. Panglima ABRI Jenderal TNI Try Soetrisno berseragam lengkap, tampil bicara.
Jenderal Try mengatakan : “Saudara-saudara, sebangsa se-tanah air. Hari ini telah terjadi kerusuhan kecil di Talangsari, Lampung. Sekelompok GPK melakukan perlawanan terhadap prajurit TNI yang sedang melaksanakan tugas,” Jenderal Try menghela napas.
“Dalam kontak senjata, putera terbaik bangsa, Danramil Way Jepara, Kapten TNI Soetiman, gugur di medan tugas. Ia terkena panah beracun pihak GPK. Dua prajurit TNI lainnya terluka parah. Dari pihak GPK dilaporkan, enam tewas. Situasi di lokasi kejadian kini aman di bawah kendali prajurit TNI,” tutur Try.
Dalam perkataan tersebut, dia tidak menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi di Talangsari (menutupi peristiwa tersebut), dia hanya menjelaskan apa yang terjadi di Kodim 0411 Metro.
Jumlah korban:
Jumlah korban simpang-siur. Menurut versi tentara, korban tewas 27 orang. Namun, menurut sejumlah lembaga swadaya masyarakat menghitung 246 korban tewas. Seperti tragedi kemanusiaan lainnya, suara korban Talangsari baru didengar setelah Soeharto jatuh pada tanggal 21 Mei 1998. Korban dan aktivis kemanusiaan menuntut pemerintah segera mengadili pelaku penembakan.
Pada Juni 2001, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) membentuk tim ad hoc untuk menyelidiki kasus ini. Namun, apa daya hasilnya tidak jelas.
Penyelesaian:
Sejak reformasi bergulir pada 1998, atas dorongan dari AM Hedropriyono kepada Presiden BJ Habibie, seluruh tahanan politik kasus ini akhirnya dibebaskan.

Artikel Terkait:

0 komentar:

Posting Komentar